Beranda | Artikel
Syubhat-Syubhat Suami Pelaku KDRT
Rabu, 23 Agustus 2023

Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du,

Sebagian suami yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) mereka mengklaim perbuatannya memiliki dasar dari agama. Padahal Islam sama sekali tidak merestui perbuatan KDRT. Sehingga argumen-argumen dari para pelaku KDRT tersebut merupakan syubhat dalam agama, yaitu perkara yang keliru namun nampak seperti kebenaran. Oleh karena itu dalam tulisan ini akan kita bahas beberapa syubhat (kerancuan) dari sebagian suami yang melakukan KDRT beserta dengan jawabannya.

Syubhat 1 :

Istri harus taat kepada suami dalam segala hal. Kalau tidak taat berarti durhaka. Kalau durhaka maka layak dipukul.

Jawaban:

Tidak benar bahwa istri wajib taat kepada suami dalam segala hal. Istri tidak wajib taat dalam perkara maksiat dan dalam perkara yang tidak ma’ruf.

Dari Imran bin Husain radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّهُ لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq (Allah)” (HR. Ahmad no.19904, dishahihkan oleh Syu’aib al-Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad).

Semisal suami menyuruh istrinya melepas jilbab di luar rumah, maka tidak boleh ditaati karena ini maksiat.

Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

“Tidak ada ketaatan dalam perkara maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang ma’ruf” (HR. Bukhari no. 7257, Muslim no.1840).

Perkara ma’ruf adalah perkara yang tidak bertentangan dengan syariat dan tidak bertentangan dengan ‘urf.

Semisal suami menyuruh istrinya berjalan jongkok keliling kampung, maka ini tidak wajib ditaati karena ini bukan perkara yang ma’ruf.

Maka tidak benar bahwa istri harus taat kepada suami dalam segala hal. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:

لَا تَكُونُ الْعِبَادَةُ إلَّا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ، وَلَا الطَّاعَةُ الْمُطْلَقَةُ إلَّا لَهُ سُبْحَانَهُ ، وَلِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Ibadah tidak boleh diserahkan kecuali hanya kepada Allah ‘azza wa jalla. Dan tidak ada ketaatan secara mutlak kecuali kepada Allah subhanahu dan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam ” (Majmu’ Al-Fatawa, 28/19).

Syubhat 2:

Allah ta’ala membolehkan memukul istri yang durhaka. Allah ta’ala berfirman: 

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا 

“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar” (QS. An-Nisa: 34). 

Jawaban:

Ayat tersebut haq (benar). Namun memukul istri yang disebutkan di dalam ayat perlu dipahami bersamaan dengan dalil-dalil yang lain.

Pada asalnya memukul istri hukumnya haram. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

أَجِيبُوا الدَّاعِيَ، وَلا تَرُدُّوا الْهَدِيَّةَ، وَلا تَضْرِبُوا الْمُسْلِمِينَ 

“Hendaknya kalian memenuhi undangan, dan jangan kalian menolak hadiah, dan jangan kalian memukul sesama Muslim” (HR. Ahmad no.3838, Ibnu Hibban no.5603, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no.158). 

Dari Mu’awiyah bin Haidah radhiyallahu’anhu, ia berkata: 

يا رسولَ اللَّهِ ، ما حقُّ زَوجةِ أحدِنا علَيهِ ؟ ، قالَ : أن تُطْعِمَها إذا طَعِمتَ ، وتَكْسوها إذا اكتسَيتَ ، أوِ اكتسَبتَ ، ولا تضربِ الوَجهَ ، ولا تُقَبِّح ، ولا تَهْجُرْ إلَّا في البَيتِ 

“Wahai Rasulullah, apa saja hak istri kami?”. Nabi bersabda: Engkau berikan ia makanan jika engkau makan, engkau berikan ia pakaian jika engkau punya pakaian atau penghasilan, dan jangan memukul wajahnya, jangan mencelanya, dan jangan mendiamkannya kecuali di rumah” (HR. Abu Daud no.2142, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud). 

Oleh karena itu, sesuatu yang asalnya haram tidak boleh bermudah-mudahan melakukannya. Perlu alasan yang sangat kuat untuk melakukannya. Yaitu hanya dilakukan ketika suami yakin bahwa sang istri telah melakukan nusyuz (kedurhakaan) secara syar’i. Jika ia tidak yakin, maka tidak boleh melakukannya karena hukum asalnya haram. 

Dan yang disebutkan dalam ayat, solusi dengan cara memukul adalah langkah terakhir. Bukan langkah pertama dalam menangani istri yang nusyuz. Sehingga suami yang ringan tangan dan menjadikan memukul sebagai langkah pertama, sebenarnya tidak mengamalkan ayat di atas. 

Kemudian, yang dimaksud memukul dalam ayat di atas, telah dijelaskan kaifiyah-nya dalam hadits riwayat Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

فإنْ فَعَلْنَ ذلكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غيرَ مُبَرِّحٍ 

“Jika istri kalian melakukan nusyuz, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan” (HR. Muslim, no. 1218). 

Demikian juga keterangan para ulama ketika menerangkan ayat di atas. Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: 

أي: إذا لم يَرْتَدِعْن بالموعظة ولا بالهجران، فلكم أن تضربوهن ضربا غير مبرح، كما ثبت في صحيح مسلم … وكذا قال ابن عباس وغير واحد : ضربا غير مبرح . قال الحسن البصري : يعني غير مؤثر . قال الفقهاء : هو ألا يكسر فيها عضوا ولا يؤثر فيها شيئا 

“Maksudnya, jika sang istri tidak jera dengan nasehat atau pemboikotan, maka boleh dipukul dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Sebagaimana dalam riwayat shahih dalam Shahih Muslim … Demikian juga perkataan Ibnu Abbas dan para sahabat yang lain: maksudnya adalah pukulan yang tidak menyakitkan. Al-Hasan Al-Bashri mengatakan: maksudnya adalah pukulan yang tidak berbekas. Para fuqaha mengatakan: maksudnya pukulan yang tidak mematahkan tulang dan tidak berbekas sama sekali” (Tafsir Ibnu Katsir). 

Maka ayat di atas tidak ada pendalilan untuk melakukan KDRT sama sekali. 

Oleh karena itu, pukulan yang disebutkan dalam ayat bukanlah pukulan dalam rangka menghukum atau menumpahkan emosi, namun dalam rangka pengajaran. 

Al-Izz bin Abdissalam rahimahullah mengatakan: 

إِنَّمَا جَازَ لِكَوْنِهِ وَسِيلَةً إِلَى مَصْلَحَةِ التَّأْدِيبِ، فَإِذَا لَمْ يَحْصُل التَّأْدِيبُ بِهِ، سَقَطَ الضَّرْبُ الْخَفِيفُ كَمَا يَسْقُطُ الضَّرْبُ الشَّدِيدُ، لأَِنَّ الْوَسَائِل تَسْقُطُ بِسُقُوطِ الْمَقَاصِدِ 

“Dibolehkan memukul hanyalah sarana untuk kemaslahatan pengajaran. Jika pengajaran tidak mungkin tercapai, gugurlah kebolehan memukul dengan pukulan ringan ataupun keras. Karena sarana itu gugur jika tujuannya gugur” (Qawa’idul Ahkam, 1/90). 

Syubhat 3:

Istri tidak boleh cerita kepada orang lain bahwa ia dipukul oleh suaminya. Jika ia menceritakannya, berarti ia mengghibah suami dan mengumbar aib keluarga!

Jawaban:

Pelaku KDRT yang memiliki keyakinan demikian sebenarnya menyadari apa yang ia lakukan adalah kesalahan. Buktinya ia malu jika diketahui oleh orang lain. Andaikan KDRT yang ia lakukan adalah kebenaran, mengapa ia enggan diketahui oleh orang lain? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ

“Kebaikan adalah yang membuat tenang jiwa dan hatimu. Dan dosa adalah yang membuat bimbang hatimu dan goncang dadamu” (HR. Ahmad no.17545, Al-Albani dalam Shahih At-Targhib [1734] mengatakan: “hasan li ghairihi“).

Dahulu para Sahabat dan Sahabiyah biasa berkonsultasi menceritakan prahara rumah tangga mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam rangka mencari solusi dan bantuan. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menganggapnya sebagai ghibah atau membongkar aib. 

Dari Al-Hushain bin Mihshan, ia berkata:

نَّ عَمَّةً لَهُ أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَاجَةٍ فَفَرَغَتْ مِنْ حَاجَتِهَا فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ كَيْفَ أَنْتِ لَهُ قَالَتْ مَا آلُوهُ إِلَّا مَا عَجَزْتُ عَنْهُ قَالَ فَانْظُرِي أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ

Bibinya pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk suatu keperluan. Setelah urusannya selesai, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bertanya kepadanya: “Apakah kamu mempunyai suami?” ia menjawab, “Ya.” Beliau bertanya lagi: “Bagaimanakah sikapmu terhadapnya?” ia menjawab, “Saya tidak pernah mengabaikannya, kecuali terhadap sesuatu yang memang aku tidak sanggup.” Beliau bersabda: “Camkanlah selalu, akan posisimu terhadapnya. Sesungguhnya yang menentukan surga dan nerakamu terdapat pada (sikapmu terhadap) suamimu.” (HR. Ahmad no.19025, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Targhib no.1933).

Dari ‘Amr bin Maimun dari ayahnya, ia berkata:

من طريق عَمْرِو بْنِ مَيْمُونٍ , عَنْ أَبِيهِ , قَالَ: قُلْتُ لِسَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ:”أَيْنَ تَعْتَدُّ الْمُطَلَّقَةُ ثَلَاثًا؟ فَقَالَ: فِي بَيْتِهَا ، فَقُلْتُ لَهُ: أَلَيْسَ قَدْ أَمَرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاطِمَةَ بِنْتَ قَيْسٍ أَنْ تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ؟ فَقَالَ: تِلْكَ الْمَرْأَةُ فَتَنَتِ النَّاسَ , وَاسْتَطَالَتْ عَلَى أَحْمَائِهَا بِلِسَانِهَا ، فَأَمَرَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ ، وَكَانَ رَجُلًا مَكْفُوفَ الْبَصَرِ

“Aku berkata kepada Sa’id bin Musayyab: Di mana seorang wanita yang ditalak tiga menjalani masa iddah? Beliau menjawab: “Di rumahnya”. Lalu aku berkata: Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyuruh Fathimah binti Qais untuk menjalani masa ‘iddah di rumah Ibnu Ummi Maktum? Maka Sa’id bin Musayyab menjawab: “Wanita tersebut telah menimbulkan fitnah bagi banyak orang, panjang lisannya kepada saudara suaminya (menyakiti suaminya dengan lisannya), maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruhnya untuk menjalani masa ‘iddah di rumah Abdullah bin Ummi Maktum, beliau termasuk orang yang tidak bisa melihat.” (Diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam Syarah Ma’anil Atsar, 3/69).

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:

أنه طلق امرأته وهي حائض، فذكر ذلك عمر لرسول الله صلى الله عليه وسلم ، فَتَغَيَّظَ منه رسول الله صلى الله عليه وسلم ، ثم قال: لِيُرَاجِعْهَا، ثم لِيُمْسِكْهَا حتى تَطْهُرَ، ثم تَحِيضُ فَتَطْهُرَ، فإن بدا له أن يطلقها فليطلقها طاهرًا قبل أن يَمَسَّهَا، فتلك العِدَّةُ، كما أمر الله عز وجل ». وفي لفظ: «حتى تَحِيضَ حَيْضَةً مُسْتَقْبَلَةً، سِوَى حَيْضَتِهَا التي طَلَّقَهَا فيها». وفي لفظ «فحُسِبَتْ من طلاقها، ورَاجَعْهَا عبدُ الله كما أمره رسول الله صلى الله عليه وسلم 

Dari Abdullah bin Umar raḍiyallahu ‘anhuma bahwa ia menceraikan istrinya yang sedang haid. Lalu Umar menceritakannya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam langsung marah karena hal tersebut, kemudian bersabda, “Hendaknya ia merujuknya, kemudian mempertahankannya sampai ia suci, kemudian haid lalu suci lagi. Jika ia masih ingin menceraikannya, maka silahkan menceraikannya dalam keadaan suci sebelum ia menggaulinya. Itulah masa iddah seperti yang diperintahkan Allah ‘Azza wa Jalla.” Dalam redaksi lain, “Sampai ia haid satu kali berikutnya, bukan haid yang saat itu ia menceraikannya.” Dalam redaksi lain lagi, “Ia dihitung dari talaknya itu, dan Abdullah lalu merujuknya sebagaimana diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam” (Muttafaq ‘alaih).

Dan contoh-contoh lainnya. Oleh karena itu menceritakan masalah rumah tangga kepada orang yang dapat memberikan solusi dan bantuan tidaklah termasuk ghibah yang terlarang.

Disebutkan dalam bait syair Muhammad bin Aujan rahimahullah:

القدح ليس بغيبة في ستة *** متظلم ومعرّف ومحذّر 

ومجاهر فسقا ومستفت *** ومن طلب الإعانة في إزالة منكر

Menyebut keburukan orang bukan ghibah dalam 6 keadaan:

1. mutazhallim (orang yang dizalimi)

2. mu’arrif (orang yang sedang menyebutkan identitas)

3. muhadzir (orang yang sedang mentahdzir)

4. mujahir fisqan (bicara tentang orang yang menampakkan maksiat terang-terangan)

5. mustaftin (orang yang sedang meminta fatwa)

6. man thalabal i’anah li izaalati munkarin (orang yang sedang meminta pertolongan untuk menghilangkan kemungkaran)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin pernah ditanya, “Jika aku mengeluh kepada orang tuaku tentang kezaliman suami yang dilakukan suamiku, apakah ini termasuk ghibah dan namimah?

Beliau menjawab:

“Ini bukan termasuk ghibah dan bukan pula termasuk namimah. Karena Allah ta’ala berfirman:

لَّا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَن ظُلِمَ

“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dizalimi” (QS. An-Nisa: 148).

Maka orang yang dizalimi boleh mengadukan kezaliman yang ia alami kepada orang yang bisa memberikan jalan keluar dari kezaliman tersebut”

(Sumber: هل مِنَ الغِيبَة أن أشكو زوجي لأهلي – الشيخ ابن عثيمين).

Selain itu KDRT adalah perkara yang membahayakan diri. Dan Islam mensyariatkan untuk menjauhkan diri dari kondisi bahaya. Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain”. (HR. Ahmad I/313 no.2867, dan Ibnu Majah no.2431, dihasankan oleh An-Nawawi dalam Al-Adzkar no.32).

Oleh karena itu, istri yang menjadi korban KDRT oleh suaminya boleh menceritakannya kepada orang tuanya atau kepada pihak-pihak yang bisa memberikan bantuan kepadanya. Dan ini tidak termasuk ghibah dan tidak termasuk membongkar aib. Bahkan termasuk perkara yang disyariatkan untuk menghindarkan diri dari bahaya.

Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

***

Dijelaskan oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.


Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/42597-syubhat-syubhat-suami-pelaku-kdrt.html